Selasa, 17 Agustus 2010

kawasan budidaya kehutanan

KAWASAN BUDIDAYA KEHUTANAN
Undang-Undang Kehutanan tegas menyebutkan kewenangan mengubah status suatu kawasan hutan ada di tangan Menteri Kehutanan. Namun dalam praktik, seiring semangat otonomi daerah, kewenangan itu sering dilangkahi. Di satu sisi, kepala daerah dengan gampang memberikan izin lokasi kepada perusahaan meskipun izin itu pada akhirnya akan mengubah kondisi suatu hutan. Di sisi lain, jumlah daerah pemekaran terus bertambah sehingga menyulitkan kontrol Pusat. Kini, Indonesia memiliki 534 kabupaten/kota.

Kewenangan Menteri Kehutanan mengubah status suatu kawasan hutan diingatkan kembali Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan, Dwi Sudarto, dalam “Indonesian Palm Oil Business and Legal Conference 2010” di Jakarta, Selasa (18/5). Lokakarya yang diselenggarakan Institute for Advanced Learning and Education itu membahas berbagai aspek hukum dan bisnis perkebunan kelapa sawit seiring terbitnya sejumlah peraturan baru yang relevan.

Belum lama ini Pemerintah memang menerbitkan sejumlah regulasi. Antara lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, PP No. 18 Tahun 2010 tentang Udaha Budidaya Tanaman, dan Peraturan Menteri Pertanian No. 14 Tahu 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit.

Berdasarkan PP 10, perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan, aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan. Kalau peruntukan dan fungsi suatu kawasan hutan mau diubah, Menteri mengeluarkan penetapan setelah mendapatkan masukan dari tim penelitian terpadu. Perubahan peruntukan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial atau untuk wilayah provinsi. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilakukan melalui tukar menukar kawasan hutan, atau pelepasan kawasan.

Menurut Dwi, pada dasarnya status suatu kawasan hutan ‘halal’ untuk diubah sepanjang sesuai kewenangan. Yang terjadi di lapangan, sejumlah kepala daerah langsung memberikan izin denga tujuan memperoleh PAD. Padahal, kata Dwi, “tidak ada kewenangan Pemda untuk mengubah status kawasan hutan”.

Akibat gampangnya kepala daerah memberikan izin, hak-hak di atas suatu kawasan menjadi tumpang tindih. Tidak mengherankan timbul konflik antara pengusaha perkebunan dan pengusaha pertambangan. Masing-masing memiliki izin di atas lahan yang sama. Celakanya, daerah enggan meminta ‘restu’ ke Kementerian Kehutanan saat memberikan izin tersebut. “Sehingga sering terjadi tumpang tindih” tandas Dwi. Kondisi akan semakin runyam jika Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) setelah izin dari Pemda terbit. “Itu tambah runyam lagi,” sambunnya.

Kelemahan PP 10
PP 10 Tahun 2010 dipandang sebagai regulasi yang mendorong komitmen pelestarian lingkunan. Namun bagi Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), beleid ini juga punya kelemahan. Dahnil Anzar S, pengurus DPP Apkasindo, menilai PP 10 bisa menjadi ancaman bagi pengelola perkebunan kelapa sawit. Terutama di daerah yang ditetapkan sebagai daerah hutan lindung, dimana sebelumnya si pengusaha sudah mendapatkan izin dari Pemda setempat.

Jika pengusaha sudah mendapatkan izin dari Pemda, sudah seharusnya pengusaha tak dikriminalisasi. Sebab, kata Dahnil, jika pengusaha dikriminalisasi, kelanjutan perusahaan pun ikut terancam. “Padahal kebijakan terdahulu justru memberikan izin pemanfaatan hutan sebagai perkebunan,” tegas dia.

Ditambahkan Dahnil, PP 10 memberikan ‘ruang’ bagi pemda untuk melakukan kecurangan dengan menekan perusahaan perkebunan, sehingga sangat merugikan petani. Untuk itu, Apkasindo meminta Pemerintah memerhatikan masalah yang dihadapi perkebunan yang telah memperoleh izin peralihan peruntukan hutan menjadi perkebunan pada periode sebelumnya dan ternyata masuk kawasan hutan lindung. Apalagi jika aktivitas perusahaan perkebunan sudah berlangsung lama. Jika PP 10 diterapkan secara kaku, Dahnil khawatir, “petani dan pengusaha akan terkorbankan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar